Tuesday, 30 April 2013

Bila Hati Bercahaya


Adakah diantara kita yang merasa mencapai sukses hidup karena telah berhasil meraih segalanya : harta, gelar, pangkat, jabatan, dan kedudukan yang telah menggenggam seluruh isi dunia ini? Marilah kita kaji ulang, seberapa besar sebenarnya nilai dari apa-apa yang telah kita raih selama ini.

Di sebuah harian pernah diberitakan tentang penemuan baru berupa teropong yang diberi nama telescope Hubble. Dengan teropong ini berhasil ditemukan sebanyak lima milyar gugusan galaksi. Padahal yang telah kita ketahui selama ini adalah suatu gugusan bernama galaksi bimasakti, yang di dalamnya terdapat planet-planet yang membuat takjub siapa pun yang mencoba bersungguh-sungguh mempelajarinya. Matahari saja merupakan salah satu planet yang sangat kecil, yang berada dalam gugusan galaksi di dalam tata surya kita. Nah, apalagi planet bumi ini sendiri yang besarnya hanya satu noktah. Sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lima milyar gugusan galaksi tersebut. Sungguh alangkah dahsyatnya.

Sayangnya, seringkali orang yang merasa telah berhasil meraih segala apapun yang dirindukannya di bumi ini – dan dengan demikian merasa telah sukses – suka tergelincir hanya mempergauli dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya membuat ia bangga dan pongah, tetapi ketiadaannya serta merta membuat lahir batinnya sengsara dan tersiksa. Manakala berhasil mencapai apa yang diinginkannya, ia merasa semua itu hasil usaha dan kerja kerasnya semata, sedangkan ketika gagal mendapatkannya, ia pun serta merta merasa diri sial. Bahkan tidak jarang kesialannya itu ditimpakan atau dicarikan kambing hitamnya pada orang lain.
Orang semacam ini tentu telah lupa bahwa apapun yang diinginkannya dan diusahakan oleh manusia sangat tergantung pada izin Allah Azza wa Jalla. Mati-matian ia berjuang mengejar apa-apa yang dinginkannya, pasti tidak akan dapat dicapai tanpa izin-Nya. Laa haula walaa quwwata illaabillaah! Begitulah kalau orang hanya bergaul, dengan dunia yang ternyata tidak ada apa-apanya ini.
Padahal, seharusnya kita bergaul hanya dengan Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha Menguasai jagat raya, sehingga hati kita tidak akan pernah galau oleh dunia yang kecil mungil ini. Laa khaufun alaihim walaa hum yahjanuun! Samasekali tidak ada kecemasan dalam menghadapi urusan apapun di dunia ini. Semua ini tidak lain karena hatinya selalu sibuk dengan Dia, Zat Pemilik Alam Semesta yang begitu hebat dan dahsyat.
Sikap inilah sesungguhnya yang harus senantiasa kita latih dalam mempergauli kehidupan di dunia ini. Tubuh lekat dengan dunia, tetapi jangan biarkan hati turut lekat dengannya. Ada dan tiadanya segala perkara dunia ini di sisi kita jangan sekali-kali membuat hati goyah karena toh sama pahalanya di sisi Allah. Sekali hati ini lekat dengan dunia, maka adanya akan membuat bangga, sedangkan tiadanya akan membuat kita terluka. Ini berarti kita akan sengsara karenanya, karena ada dan tiada itu akan terus menerus terjadi.
Betapa tidak! Tabiat dunia itu senantisa dipergilirkan. Datang, tertahan, diambil. Mudah, susah. Sehat, sakit. Dipuji, dicaci. Dihormati, direndahkan. Semuanya terjadi silih berganti. Nah, kalau hati kita hanya akrab dengan kejadian-kejadian seperti itu tanpa krab dengan Zat pemilik kejadiannya, maka letihlah hidup kita.
Lain halnya kalau hati kita selalu bersama Allah. Perubahan apa saja dalam episode kehidupan dunia tidak akan ada satu pun yang merugikan kita. Artinya, memang kita harus terus menerus meningkatkan mutu pengenalan kita kepada Allah Azza wa Jalla.
Di antara yang penting yang kita perhatikan sekiranya ingin dicintai Allah adalah bahwa kita harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah mencintainya, dan barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia mencintainya."
Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Bagi orang-orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun yang dimiliki sama sekali tidak akan membuat hati merasa tentram karena ketentraman itu hanyalah apa-apa yang ada di sisi Allah.
Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah." (HR. Ahmad, Mauqufan)
Andaikata kita merasa lebih tentram dengan sejumlah tabungan di bank, maka berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seharusnya kita lebih merasa tentram dengan jaminan Allah. Ini dikarenakan apapun yang kita miliki belum tentu menjadi rizki kita kalau tidak ada izin Allah.
Sekiranya kita memiliki orang tua atau sahabat yang memiliki kedudukan tertentu, hendaknya kita tidak sampai merasa tentram dengan jaminan mereka atau siapa pun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali dengan izin Allah.
Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak menjadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita.jangan ukur kemuliaan seseorang dengan adanya dunia di genggamannya. Sebaliknya jangan pula meremehkan seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita tidak menghormati seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita menghormati seseorang karena kedudukan dan kekayaannya, kalau meremehkan seseorang karena ia papa dan jelata, maka ini berarti kita sudah mulai cinta dunia. Akibatnya akan susah hati ini bercahaya disisi Allah.
Mengapa demikian? Karena, hati kita akan dihinggapi sifat sombong dan takabur dengan selalu mudah membeda-bedakan teman atau seseorang yang datang kepada kita. Padahal siapa tahu Allah mendatangkan seseorang yang sederhana itu sebagai isyarat bahwa Dia akan menurunkan pertolongan-Nya kepada kita.
Hendaknya dari sekarang mulai diubah sistem kalkulasi kita atas keuntungan-keuntungan. Ketika hendak membeli suatu barang dan kita tahu harga barang tersebut di supermarket lebih murah ketimbang membelinya pada seorang ibu tua yang berjualan dengan bakul sederhananya, sehingga kita mersa perlu untuk menawarnya dengan harga serendah mungkin, maka mulailah merasa beruntung jikalau kita menguntungkan ibu tua berimbang kita mendapatkan untung darinya. Artinya, pilihan membeli tentu akan lebih baik jatuh padanya dan dengan harga yang ditawarkannya daripada membelinya ke supermarket. Walhasil, keuntungan bagi kita justru ketika kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain.
Lain halnya dengan keuntungan diuniawi. Keuntungan semacam ini baru terasa ketika mendapatkan sesuatu dari orang lain. Sedangkan arti keuntungan bagi kita adalah ketika bisa memberi lebih daripada yang diberikan oleh orang lain. Jelas, akan sangat lain nilai kepuasan batinnya juga.
Bagi orang-orang yang cinta dunia, tampak sekali bahwa keuntungan bagi dirinya adalah ketika ia dihormati, disegani, dipuji, dan dimuliakan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sangat merindukan kedudukan di sisi Allah, justru kelezatan menikmati keuntungan itu ketika berhasil dengan ikhlas menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain. Cukup ini saja! Perkara berterima kasih atau tidak, itu samasekali bukan urusan kita. Dapatnya kita menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain pun sudah merupakan keberuntungan yang sangat luar biasa.
Sungguh sangat lain bagi ahli dunia, yang segalanya serba kalkulasi, balas membalas, serta ada imbalan atau tidak ada imbalan. Karenanya, tidak usah heran kalau para ahli dunia itu akan banyak letih karena hari-harinya selalu penuh dengan tuntutan dan penghargaan, pujian, dan lain sebagainya, dari orang lain. Terkadang untuk mendapatkan semua itu ia merekayasa perkataan, penampilan, dan banyak hal demi untuk meraih penghargaan.
Bagi ahli zuhud tidaklah demikian. Yang penting kita buat tatanan kehidupan ini seproporsional mungkin, dengan menghargai, memuliakan, dan membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Inilah keuntungan-keuntungan bagi ahli-ahli zuhud. Lebih merasa aman dan menyukai apa-apa yang terbaik di sisi Allah daripada apa yang didapatkan dari selain Dia.
Walhasil, siapapun yang merindukan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai oleh nuur dari sisi Allah, hendaknya ia berjuang sekuat-kuatnya untuk mengubah diri, mengubah sikap hidup, menjadi orang yang tidak cinta dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud.
"Adakalanya nuur Illahi itu turun kepadamu", tulis Syaikh Ibnu Atho’illah dalam kitabnya, Al Hikam, "tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah nuur itu ke tempatnya semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma’rifat dan rahasia-rahasia."
Subhanallaah, sungguh akan merasakan hakikat kelezatan hidup di dunia ini, yang sangat luar biasa, siapapun yang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya dari sisi Allah Azza wa Jalla. "Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS. An Nuur [24] : 35).

Sumber : www.manajemenqolbu.com

Thursday, 25 April 2013

Al Hikam : Terhalangnya Jiwa Karena Syahwat


“Tidak menutup kemungkinan hati terhenti pada cahaya,sebagaimana terhalangnya jiwa karena gelapnya benda-benda makhluk (syahwat)”  Al Hikam

Segala sesuatu yang kita rasakan,yang kita lihat maupun peristiwa yang kita alami merupakan tabir, sehingga engkau menjadi tidak bisa melihat Allah. Atau pemahaman kita salah dalam menempun jalan makrifat.

Kesalahan itu misalnya kita telah beristiqamah menempuh jalan makrifat, namun tujuan kita dibelokkan oleh keinginan-keinginan lain,bukan merapat kepada-Nya. Tujuan yang dibelokkan oleh hawa nafsu berupa keinginan sebagai seorang khowas; orang yang istimewa di bandingkan manusia awam. Penyebabnya karena hatimu terpengaruh oleh cerita-cerita bohong yang dibesar-besarkan.

Sering kita mendengar seseorang menempuh jalan makrifat, kemudian manusia memberi gelar wali. Ia dihormati dan disegani lantaran ilmunya yang tinggi dan istimewa. Setiap umat yang berjumpa dengannya selalu mencium tangan, menunduk-nunduk dan bersikap sangat sopan. Disiarkan kabar bahwa sang wali tersebut mampu shalat diatas air,berjalan diawan,pergi ke Mekkah  dalam sekejap dan bisa bicara dengan arwah para nabi.

Inikah tujuan dalam menempuh makrifat? Jika tujuannya hanya demikian,maka betapa memalukan. Dan kita akan terhalang oleh nuranimu sendiri. Tujuan bermakrifat hanyalah ingin mendapatkan ilmu yang aneh-aneh dan gaib membuat orang awam berdecak kagum.

Jadi, orang menempuh jalan makrifat haruslah mempunyai tujuan agar bisa dekat dengan Allah. Tentu saja harus istiqomah dalam beribadah. Ibadah yang dilakukan juga tidak macam-macam,tidak ditambah dan dikurangi tetapi tetap pada jalur ajaran Rasulullah dalam sunnahny dan perintah Allah dalam Firman-Nya.

Wednesday, 10 April 2013

Mencintai Rasulullah SAW

Jika Allah SWT dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW maka dapat ditarik kesimpulan tentang posisi kemuliaan laki-laki tampan penutup para rasul itu. Lantas wajarlah sebagaimana termaktub dalam surat Al Ahzab ayat 56, kaum muslim diperintahkan untuk senantiasa bershalawat padanya.
 
Tak hanya manusia,pohon dan binatang pun, dikabarkan bershalawat kepada Beliau. Mereka yang sehari-hari tak pernah kita ketahui bercakap dan berkata-kata itu mengakui dan mengetahui kedudukan Nabi Muhammad SAW. Imam Bukhari dan Imam Muslim pernah meriwayatkan sebuah hadist dari Abdullah bin Masud bahwa sebatang pohon pernah menghampiri Rasulullah SAW ketika sesosok jin berkata kepada Nabi SAW.
 
“Siapa yang akan bersaksi untukmu?” ujar jin itu.
 
Nabi lalu menjawab :”Pohon ini. Kemarilah,wahai pohon!” lantas pohon kayu itu datang dengan mencabut akar-akarnya seaya mengeluarkan suara yang berisik.
 
Hajar Aswad yang ada di Ka’bah,sebagaimana diberitakan hadist riwayat Imam Muslim, diakui Nabi adalah satu batu di Mekah yang tak pernah absen menyalaminya. AlBaihaqi juga meriwayatkan hadist dari Jabir bin Abdullah bahwa jika nabi berjalan maka setiap batu dan pohon yang dilewatinya bersujud memberi penghormatan padanya.
 
Dalam sebuah hadist dengan sanad yang kuat dari Abu Hurairah melalui periwayatan Ibnu Hanbal,dikisahkan pula bahwa Nabi pernah masuk dalam satu taman dan beberapa ekor unta yang ada dalam taman itu bersujud pada beliau. Kisah serupa juga terdapat dalam hadist riwayat Tsa’labah bin Malik,saat Nabi memanggil salah satu unta dan unta yang dipanggil Nabi lantas sujud sampai mulutnya menyentuh tanah. Lalu Nabi bersabda : “Tidak ada sesuatu diantara langit dan bumi yang tidak tahu bahwa saya adalah Rasulullah kecuali mereka yang ingkar dari kalangan jin dan manusia.”
 
Hanya jin dan manusia yang ingkar yang tak mengakui kenabian Rasulullah. Dua golongan inilah yang senantiasa memalingkan hatinya dari kenyataaan bahwa Rasulullah adalah utusan Allah yang hak. Kaum kafir Quraisy yang terus-menerus berusaha membunuh Rasulullah adalah termasuk daripada mereka. Mereka juga kerap menghina dan merendahkan Nabi SAW serta melancarkan fitnah keji padanya.
 
Banyak sekali contoh yang diceritakan sejarah bagaimana cara mencintai dan menghormati Rasulullah SAW. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. menunjukkan cintanya kepada Rasulullah SAW dengan mengambil resiko kehilangan nyawanya saat bersedia menggantikan Rasulullah SAW berbaring di dipannya ketika pemuda-pemuda terpilih quraisy dengan pedang terhunus sudah mengurung rumah Rasulullah SAW untuk membunuhnya. Demikian pula Umar bin Khatab ra. yang selalu berada digaris depan untuk membelanya,juga Abu Bakar yang selalu setia mendampinginya di segala kondisi.
 
Kita dapat mengambil  perbandingan dari itu semuanya, sebagimana dulu Abu Bakar pernah berujar kepada Nabi saat ia melihat seekor biri-biri sujud kepada Beliau, “Wahai Rasulullah,(sesungguhnya) kami lebih wajib bersujud (mentaati) kepadamu dibanding biri-biri itu.”
 
Allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala ali muhammad.

Tugas Utama Wanita

"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah”. Asma’ binti Abu Bakar ra. pernah datang   menghadap Ra...